05 Maret, 2010

MAULIDAN = PERAYAAN KEMATIAN ?

Sebelum membaca catatan ini, penulis mohon kepada para pembaca budiman untuk menjauhkan perasaan hasad, taqlid dan “gak mau terima” secara langsung. Tetapi mari sejenak merenungkan beberapa hadits, atsar sahabat dan perkataan-perkataan ulama salaf maupun kholaf (kontemporer).

Saudara/i kami yang seiman…kami memulai menulis permasalahan ini bukanlah dengan niat ingin “menggurui” para pembaca, apalagi ingin dikatakan sebagai orang yang pandai dan begitu banyak wawasan keagamaannya. Kami jawab, TIDAK!!! Yang kami inginkan adalah tegaknya kebenaran dan hancurnya kebatilan. Hadits-hadits shohih menang atas hadits-hadits palsu. Dan Sunnah (ajaran) Nabi Muhammad menjadi terang setelah sebelumnya tertutupi oleh amalan-amalan bid`ah.

Berdasarkan firman Alloh Ta`ala di dalam surat Al`ashr yang artinya: (1)Demi masa. (2)Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. (3)Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dan yang saling menasehati supaya mentaati kebenaran & menetapi kesabaran. Kemudian hadits yang diriwayatkan oleh Tamim bin Aus Ad-Daari –semoga Alloh meridhoinya-, bahwasanya Nabi bersabda: “Agama itu adalah Nasehat , Kami (sahabat)bertanya : Untuk Siapa ?, Beliau bersabda : Untuk Alloh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh kaum muslim” [Muslim no. 55] maka dengan penuh keikhlasan dan keyakinan kami hadirkan sebuah catatan pendek yang berjudul:

MAULIDAN = PERAYAAN KEMATIAN

Mungkin kedengarannya aneh dengan judul diatas. Tapi, coba kita perhatikan seksama fakta sejarah kelahiran Rasul Muhammad, Shalallohu `alaihi wa sallam di bawah ini.

Tanggal Kelahiran Nabi, 12 ???

Tanggal Kelahiran Nabi Muhammad diperselisihkan secara tajam. Ada yang mengatakan bahwa beliau lahir tanggal 2 Rabiul Awal, 8 Rabiul Awal, 10 Rabiul Awal, 12 Rabiul Awal, 17 Rabiul Awal (Lihat al-Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir: 2/260 dan Latho’iful Ma’arif karya Ibnu Rojab hlm. 184-185). Semua pendapat ini tidak berdasarkan hadits yang shahih (sah dan benar). Adapun hadits Jabir dan Ibnu Abbas –semoga Alloh meridhoi keduanya- yang menerangkan bahwa tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tanggal 12 Rabiul Awal tidak shahih. Kalaulah shahih, tentu akan menjadi hakim (pemutus perkara) dalam masalah ini. Akan tetapi, Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang hadits tersebut, “Sanadnya (jalur periwayatan) terputus.” (al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Rajab hlm. 184-185).

Syeikh Shafiyuurrahman al Mubarokhfury penulis kitab “ar Rahiq al Makhtum” memilih pendapat bahwa kelahiran Nabi saw adalah pada hari senin tanggal 9 Rabiul Awal pada permulaan tahun dari peristiwa gajah yang bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April 571 M. Buku yang ditulis al Mubarokhfiury ini adalah pemenang pertama dalam lomba penulisan “Siroh Nabawiyah” yang diselenggarakan oleh Robithoh al Alam al Islamiy yang bermarkas di Mekah pada tahun 1399 H / 1978 M. Al Mubarokhfury mendasari pendapatnya kepada hasil penelitian seorang ulama terkenal yang bernama, Muhammad Sulaiman al Manshurfury dan peneliti astronomi, Muhammad Pasya.

Sesungguhnya ada sebuah buku berjudul Ya Allah… Benarkah Sejarah Ini? yang ditulis oleh Drs. Aep Syaifullah, berdasarkan pendapat para ulama hadits, diterbitkan oleh Penerbit Shuhuf. Salah satu babnya membahas ihwal lahir dan wafatnya Rasulullah. Di situ dikatakan, pendapat bahwa Rasulullah lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal perlu dikaji ulang, karena bertolak belakang dengan fakta sejarah, hadits, dan ilmu pengetahuan.

Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal itu, walau sangat terkenal, disandarkan pada riwayat yang lemah, yaitu Ibnu Ishaq melalui jalan Ibnu Abi Syaibah yang meriwayatkan dari Jarir dan Ibnu Abbas. Menurut ulama-ulama ahli hadits, Ibnu Ishaq dianggap seorang yang lemah dalam riwayat-riwayatnya. Wallohu a`lam.

12 Rabi’ul Awwal = Hari Senin?

Sementara pendapat yang shahih dan kuat mengenai tanggal kelahiran Nabi ialah, beliau lahir pada Senin, 9 Rabi’ul Awwal, tahun Gajah. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Katsir, Ibnu Qayyim Al-jauziyah, dan Ibnu Taimiyah.

Pendapat ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh seorang ahli ilmu pasti Mesir terkenal yang juga seorang ahli ilmu falak, yaitu Mahmud Pasya Falaki, yang mencoba menentukan tanggal gerhana matahari dan gerhana bulan yang terjadi pada zaman Nabi.

http://blog.khalidzaheer.com/posts/26

Berdasarkan kajiannya, hari Senin tidak mungkin bertepatan dengan tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Ia mengemukakan beberapa alasan untuk mendukung hasil kajiannya. Sebagian alasan yang dikemukakan oleh Mahmud Pasya adalah:

1. Dalam Shahih Bukhari disebutkan, ketika putra Rasululloh, Ibrahim wafat, telah terjadi gerhana matahari pada tahun ke-10 setelah hijrah. Dan Nabi Muhammad ketika itu berusia 63 tahun.
2. Berdasarkan kaidah perkiraan falak, diketahui bahwa gerhana matahari yang terjadi pada tahun ke-10 setelah hijrah itu bertepatan dengan tanggal 7 Januari 632 Masehi, pukul 8.30 pagi.
3. Berdasarkan pada perkiraan ini, seandainya diundurkan 63 tahun ke belakang, mengikut tahun qamariyah, kelahiran Nabi jatuh pada tahun 571 Masehi. Berdasarkan perkiraan yang telah dibuatnya, tanggal 1 Rabi’ul Awwal bertepatan dengan tanggal 12 April 571 Masehi.
4. Meskipun terjadi perselisihan pendapat mengenai tanggal kelahiran Nabi , semua pihak sepakat mengatakan bahwa hari kelahiran Nabi SAW adalah hari Senin, bulan Rabi’ul Awwal. Dan ternyata, hari Senin itu jatuh pada tanggal 9 Rabi’ul Awwal, bertepatan dengan tangal 20 April 571 Masehi. Bukan 12 Rabi’ul Awwal.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Sebagian ahli falak belakangan telah meneliti tentang tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata jatuh pada tanggal 9 Rabiul Awal, bukan 12 Rabiul Awal.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitab Tauhid: 1/491. Dinukil dari Ma Sya’a wa Lam Yatsbut fis Sirah Nabawiyyah hlm. 7-8 oleh Muhammad bin Abdullah al-Ausyan).

12 Rabi’ul Awwal = Tanggal Wafat Nabi Muhammad?

Saudra/i kami yang seiman…coba sekarang kita tilik sama-sama tanggal wafatnya Nabi Muhammad Shalalahu `alaihi wa Sallam. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwasanya hari-hari terakhir kehidupan Rasululloh ditandai dengan turunnya Qur’an surat Al-Maidah ayat 3, yang menyatakan bahwa Alloh Ta`ala telah menyempurnakan agama Islam dan meridhoinya. Ayat ini turun saat Nabi beserta sahabat menunaikan wukuf di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 10 H, yang bertepatan dengan hari Jum`at 6 Maret 632 M. Mungkin dari peristiwa inilah muncul sebutan “Haji Akba”r bilamana wukufnya jatuh pada hari Jum`at. Wallohu a`lam.

Tiga bulan setelah turunnya ayat tersebut Rasulullah wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 11 H. Analisis astronomis menyatakan, 12 Rabi’ul Awwal mestinya jatuh pada hari Sabtu 6 Juni 632. Namun banyak yang berpendapat bahwa Rasulullah wafat pada hari Senin, itu berarti tanggal 8 Juni 632. Perbedaan dua hari tidak dapat dijelaskan akibat terjadinya istikmal (penggenapan menjadi 30 hari) bulan Shafar.

Namun ada pula riwayat yang menerangkan bahwa beliau Shalallohu `alaihi wa Saallam meninggal tepat di tanggal 13 Rabi’ul Awwal tahun 11 hijrah. Akan tetapi yang lebih populer dan (insya Alloh) lebih tepat bahwa Nabi Muhammad wafat pada 12 Rabi`ul Awwal 11 H. So………..apa yang dirayakan oleh sebagian kaum muslimin pada tanggal 12 Rabiul Awal setiap tahunnya dengan penuh riang gembira? Memperingati hari kelahiran Nabi atauuuu Merayakan ke-wafatannya ????

قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
( “Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu adalah orang yang benar.”) (QS Al Baqarah 111).
Semoga kita senantiasa tergolong kaum yang diberi hikmah lagi hidayah dari Alloh Ta`ala. Amin.

Syariat Kita Sudah Cukup

Sebelumnya patut kita memiliki sekaligus memegang kuat prinsip bahwa ajaran Islam telah sempurna dengan segala apa yang yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad Shalallahu `alaihi wa Sallam. Allah Ta’ala berfirman :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridho Islam sebagai agama kalian.” (Al Maidah : 3)

Al Hafidh Ibnu Katsir –smoga Alloh merahmatinya- dalam Tafsirnya berkata : “Ini merupakan nikmat Alloh yang terbesar bagi ummat ini, dimana Alloh telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka sehingga mereka tidak butuh kepada selain agama Islam dan tidak butuh kepada Nabi selain Nabi mereka, Muhammad Shalallahu `alaihi wa Sallam. Karena itulah Allah menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan Alloh mengutusnya untuk kalangan manusia dan jin, maka tidak ada perkara yang haram kecuali apa yang dia haramkan, dan tidak ada agama kecuali apa yang dia syariatkan. Segala sesuatu yang dia kabarkan adalah kebenaran dan kejujuran tidak ada kedustaan padanya dan tidak ada penyuluhan.” (Tafsir Al Quranul Adzim 3/14. Dar Al Ma’rifat).

Dari sahabat Abu Dzar –smoga Alloh meridhoinya- Rasulullah bersabda : “Tidaklah tertinggal sesuatu yang dapat mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka kecuali telah diterangkan pada kalian.” (HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir, lihat As Shahihah karya Syaikh Albani rahimahullah 4/416 dan hadits ini memiliki pendukung dari riwayat lain).

Jadi dengan kesempurnaan yang dimiliki, syariat Islam tidak lagi memerlukan penambahan, pengurangan, ataupun perubahan, atau lebih simpelnya hal-hal ini diistilahkan bid’ah dalam agama yang telah diperingatkan dengan keras oleh Rasululloh shallallahu alaihi wasallam dalam sabda beliau : “Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah ucapan Allah dan sebaik-baik ajaran adalah ajaran Rasululoah. Dan sesungguhnya sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya sesuatu yang baru diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim no. 867)

Di lain kesempatam Nabi juga bersabda: “Kamu semua harus berpegang teguh pada sunnahku (setelah Al qur’an) dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk Alloh sesudahku, berpeganglah dengan sunnah itu, dan gigitlah dengan gigi geraham kalian sekuat kuatnya, serta jauhilah perbuatan baru ( dalam agama ), karena setiap perbuatan baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat” ( HR. Abu Daud dan Tirmidzi ). Maka berangkat dari 3 hadits kita dapatkan suatu peringatan keras, yaitu agar kita senantiasa waspada, jangan sampai mengadakan perbuatan bid’ah apapun, begitu pula mengerjakannya.

Renungkan ayat ini:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang orang yang berada dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah, mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak lain hanyalah menyangka-nyangka” (QS Al-An’am : 116)

Nah…Mas/Mbak yang kami hormati…Wajib kita ketahui bahwasanya perayaan Maulid ini tidak dikenal di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, generasi pertama ummat ini dan tidak dikenal dalam mazhab yang empat, Hanafiah (imam Abu Hanifah), Malikiyah (imam Malik), Syafi’iyah (Imam Syafii) dan Hambaliyah (imam ahmad bin Hanbal).

Lantas siapa orang yang “mereka-reka” dengan memunculkan “ritual” ini? Orang yang pertama kali mengadakan perayaan ini adalah kelompok Fatimiyyun disebut juga Ubaidiyyun, ajaran mereka adalah kebatinan.

Adapun perkataan bahwa yang pertama kali mengadakan perayaan tersebut adalah seorang raja yang adil yang alim yaitu Raja Mudhofir, penguasa Ibril adalah pernyataan yang salah. Abu Syamah menjelaskan bahwa Raja Al Mudhofir (hanya) mengikuti jejak Asy-Syaikh Umar bin Muhammad Al Mulaa tokoh kebatinan dan dialah orang yang pertama kali mengadakan perayaan tersebut.

Sekarang, coba kita tengok kanan-kiri kita! Kebanyakan dari masyarakat (Indonesia) melakukan “kelaziman” perayaan maulidan dengan niat apa? Ibadah atau rutinitas tahunan biasa?

Apabila kegiatan maulidan tersebut dilakukan dengan niat ibadah dan mengharap pahala dari Alloh Tabaroka wa Ta`ala, maka syarat diterimanya suatu amalan (ibadah) ada 2 macam: 1). Ikhlas lillahi Ta`ala tanpa menyekutukan peribadatan dengan selain-Nya. 2). Ittiba`, yaitu sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Rasululloh Shalallahu `alaihi wa Sallam.

Apabila suatu amalan ibadah tertentu tidak ada anjuran bahkan contoh dari Nabi Muhammad itulah yang disebut dengan amalan bid`ah. Adapun pelakunya disebut dengan mubtadi`. Sedangkan kebalikannya disebut dengan Sunnah. Hal ini berlandaskan dengan sabda beliau yang berbunyi:

“Siapa yang mengada-adakan sesuatu amalan di dalam urusan (agama) kami ini dengan yang bukan bagian dari agama ini maka amalan itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

.
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan :

“Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak.”

(HR. Muslim).

Karena itu yang wajib bagi kaum Muslimin adalah mencukupkan diri dengan ibadah-ibadah yang telah disyariatkan oleh Alloh dan Rosul-Nya, tanpa menambah ataupun menguranginya. Terus bagaimana dengan maulidan ? La haula wa laa quwwata illa billah…

Mas…Mbak…dari sinilah bisa diambil `ibroh bahwa perayaan maulid tidak ada dasar dalam syari`at. Karena apabila hal itu memang termasuk bagian syariat Alloh Ta`ala maka tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya atau beliau sampaikan kepada umatnya. Dan jika beliau pernah melakukannya atau menyampaikannya maka mestinya ajaran itu terus terjaga, sebab Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran dan Kami lah yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9)

Berarti jelaslah bahwasanya hal ini bukan dari agama, tetapi ia adalah merupakan suatu perbuatan yang diada adakan, perbuatan yang menyerupai hari hari besar ahli kitab, Yahudi dan Nasrani.

Hal ini jelas bagi mereka yang mau berfikir, berkemauan mendapatkan yang haq, dan mempunyai keobyektifan dalam membahas, bahwa peringatan maulid Nabi bukan dari ajaran agama Islam, melainkan merupakan bid`ah-bid`ah yang diada adakan, dimana Alloh memerintahkan RasulNya agar meninggalkanya dan memperingatkan agar waspada terhadapnya, tak layak bagi orang yang berakal tertipu karena perbuatan perbuatan tersebut banyak dikerjakan oleh orang banyak diseluruh jagat raya, sebab kebenaran (Al Haq) tidak bisa dilihat dari banyaknya pelaku (yang mengerjakannya), tetapi diketahui atas dasar dalil dalil syara’.

Alangkah baiknya kita menghayati perkataan Abdulloh bin Umar –semoga Alloh meridhoi keduanya-, salah seorang sahabat yang sangat aktif dan telaten menjalankan sunnah Rosul dan berpegang teguh diatasnya. Suatu ketika pernah melantunkan ucapan yang penuh hikmah: “kullu bid`ah dholalah wain roahannasu hasanah” artinya

(Setiap amalan bid`ah itu sesat meskipun kebanyakan manusia melihatnya sebagai perbuatan kebajikan).

Mas…Mbak…yang kami sayangi karena Alloh, dahulu ketika Ibnu Mas`ud –semoga Alloh meridhoinya- menjabat sebagai salah satu gubernur, dan saat itu Nabi Shalallohu `alaihi wa Sallam telah tutup usia, ada sekelompok manusia yang berkumpul setelah menunaikan sholat berjama`ah. Salah satu dari rombongan menjadi pemimpin, lalu mengucapkan dzikir dengan kemudian diikuti oleh yang lainnya. Dan mereka menghitung jumlah dzikir-dzikir tersebut memakai kerikil-kerikil kecil. Terlihatlah perbuatan sekelompok kaum muslimin itu oleh seseorang yang kemudian melaporkan kepada Ibnu Ma`ud. Setelah Ibnu Mas`ud mengetahui semuanya, maka beliau bertanya: “Apa yang kalian lakukan”. Mereka menjawab: “Tidaklah kami melakukan ini semua kecuai mengharap kebaikan”. Lantas Ibnu Mas`ud berujar: “Wa kam min muriidin lil khoiri lan yushibahu” artinya

(dan berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun sungguh mereka tidaka akan mendapatkannya [karena tanpa sesuai dengan sunnah Nabi] ).

Benar sekali apa yang diucapkan oleh shahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud: “Sederhana dalam sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam perbuatan bid’ah.”

Saudara/i sekalian…mungkin ditengah membaca catatan ini kalian langsung mengklaim penulis sebagai salah satu anggota dari ORMAS terbesar di negara ini dan menjelekkan ORMAS yang lebih besar lainnya. Saya gak marah kok, namun saya tegaskan bahwa penulis bukan dari warga NU, bukan juga Muhammadiyah. Saya tidaklah pendukung PERSIS, bukan pula Al-Irsyad. Berangkat dari sinilah cukup banyak orang yang menilai penulis sebagai seorang Wahhabi!!

Mas..Mbak..tolong dicamkan ya… andaikan Muhammad Bin Abdul Wahhab rahimahullah merayakan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam, maka saya katakan beliau telah melakukan perbuatan bid`ah.
Andaikan Muhammad Bin Abdul Wahhab rahimahullah menyembah kuburan, maka saya katakan beliau telah melakukan perbuatan kesyirikan..
Andaikan si fulan merayakan maulid Muhammad Bin Abdul Wahhab, maka saya katakan dia telah berbuat bid`’ah..
Karena Taqlid buta bukan manhaj ahlussunnah. Walhamdulillah, sejarah mengatakan sebaliknya, bahwa beliau rahimahullah adalah orang yang sangat membenci kesyirikan dan bid`ah.

————————–
—————————————————————–
Penulis adalah seorang thoolibul ilm asy-syar’i (penimba ilmu syar’i) bernama lengkap Iqbal Muammar Rosyad; berasal dari Madiun. Tulisan ini tidak dibuat untuk memancing emosi saudara2 sekalian yang merayakan Maulid Nabi; tulisan ini diciptakan untuk menghadirkan pencerahan bagi siapa pun kita yang ingin mendapatkan hakekat ilmu bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, disertai pula perkataan Sahabat dan para Tabi’in, bukan semata bersumber dari orang-orang yang dianggap suci atau berilmu di masa kini. Wallahu a’lam.